Minggu, 03 November 2013

Makalah Konversi Agama

 


KONVERSI AGAMA

 



BAB I
PENDAHULUAN


A.    LATAR BELAKANG
Agama merupakan objek pembahasan yang tidak akan pernah kering untuk dikaji dan dibahas. Ibarat samudra yang tidak akan pernah habis meskipun diminum oleh seluruh manusia yang ada di dunia ini. Para peminumnya ada yang merasa terpuaskan, dan ada yang malah kering dahaga hingga menistakan. Akan tetapi, bagaimanapun samudra itu akan tetap ada.
Manusia hidup di dunia ini tidak akan terlepas dari berbagai masalah kehidupan. Ada yang bahagia, ada yang menderita, ada yang miskin dan adapula yang kaya. Apalagi hidup di zaman yang serba modern ini,  apabila kita amati dampak yang paling menonjol dari modernitas adalah keterasingan (alienasi) yang dialami oleh manusia. Alienasi muncul dari cara pandang dualisme, yaitu: jiwa-badan, makhluk-Tuhan, aku-yang lain, kapitalis-proletar, dll. Akhirnya terjadilah gejala reifikasi atau pembedaan antar sisi dari dualitas tersebut. Ini disebut pula objektivikasi, yaitu manusia memandang dirinya sebagai objek, seperti layaknya sebuah benda.
Dalam filsafat kita mengenal dengan aliran materialisme. Semakin kuat pengaruh materialisme, semakin kuat pula gejala alienasi (keterasingan) diderita umat manusia. Anda pasti tidak menghendaki filosofi akan berdampak sedemikian menyedihkan. Dan masyarakat dunia Barat adalah yang paling menderita karena materialisme yang sudah berkembang biak sangat subur di sana.  Jika Anda membayangkan bahwa Anda terasing dengan orang-orang di sekitar Anda, mungkin Anda bisa mengalihkannya dengan sibuk dengan diri sendiri. Tetapi, bagaimana jika Anda terasing dengan diri Anda sendiri? Degradasi moral sering terjadi karena manusia tidak mampu mengatasi penyakit jiwa manusia modern ini.
Dari berbagai masalah yang dihadapi tersebut tidak jarang menyebabkan seseorang mengalami goncangan batin, bahkan terkadang merasa putus asa. Untuk itu manusia akan mencoba atau berusaha untuk mencari pegangan atau ide baru, dimana disitu dia bisa merasakan ketenangan jiwa. Suatu keyakinan yang akan membuat hidupnya terasa lebih berarti, hidup yang bertujuan, yaitu kembali kepada Tuhannya. Terjadilah pembalikan arah, atau konversi. Maka dapat kita lihat yang menjadi pendorong terjadinya konversi agama adalah faktor psikologis yang ditimbulkan oleh faktor intern maupun ekstern.
Ketenangan jiwa, itulah yang kemudian yang menjadikan pembahasan tentang agama menjadi sangat menarik. Terlebih jika pada kenyataannya tahap “ketenangan jiwa” merupakan kondisi kejiwaan yang berhubungan dengan psikologi. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pernyataan sebelumnya bahwa “tidak ada manusia yang dapat hidup tenang tanpa tuntunan sebuah agama” harus dibedah secara lebih dalam. Mengingat ternyata banyak manusia yang sudah memeluk sebuah agama, tetapi tidak mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan, bukan materil, tetapi jiwa.
Fenomena yang terjadi bukan hanya saat ini, banyak orang yang mengganti agamanya. Alasannya ada yang karena tidak merasa tenang, aman, damai, atau apa pun itu, sampai pada alasan yang paling sederhana, ekonomi. Untuk itulah istilah konversi agama muncul.

B.     TUJUAN
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah agar pembaca dapat memahami lebih dalam tentang pengertian konversi agama, faktor-faktor penyebabnya, dan bagaimana proses terjadinya.






















BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN KONVERSI AGAMA
 Tidak mudah memang membuat atau menentukan arti sebuah kata. Terlebih jika kata tersebut akan menjadi sebuah istilah untuk menunjukkan kepada peristiwa, kecenderungan, atau kondisi sesuatu yang abstrak. Setidaknya, pengertian apa pun yang telah ada akan menimbulkan debatable.
Dalam ranah psikologi, pembahasan mengenai konversi agama selalu menjadi pembahasan yang menarik. Pasalnya, mempelajari apa dan bagaimana proses terjadinya perpindahan agama (religious convertion) dan transformasi spiritual (spiritual transformation) merupakan tujuan utama dan inti dari disiplin psikologi agama (goal central to the heart and soul of the discipline of psychology). Hal ini terkait dengan adanya perubahan dari individu yang mengalami proses terjadinya konversi tersebut. (Paloutzian, 2005, h. 331)[1]
Konversi berasal dari kata conversion yang berarti, tobat, pindah, berubah. Sehingga converstion berarti berubah dari suatu keadaan atau dari suatu agama ke agama lain (change from one state, or from one religius to another). Sedang kata religion yang biasa dialih bahasakan menjadi “agama”, pada mulanya lebih berkonotasi sebagai kata kerja, yang mencerminkan sikap  keberagamaan atau kesalehan hidup berdasarkan nilai-nilai ketuhanan.[2]  Menurut Jalaluddin, konversi Agama (Religious Conversion) dapat diartikan dengan berubah agama ataupun masuk agama,[3] atau konversi agama berarti terjadinya suatu perubahan keyakinan yang berlawanan arah dengan keyakinan semula.[4]
Konversi Agama adalah istilah  yang pada umumnya diberikan untuk proses yang menjurus  kepada penerimaan suatu sikap keagamaan; proses itu bisa terjadi secara berangsur-angsur atau secara tiba-tiba.[5] Secara umum, konversi agama dapat diartikan berubah agama atau masuk ke dalam sebuah agama. Mungkin saja diferensiasi dari berubah agama atau masuk ke dalam agama, bertitik tolak dari kondisi keberagamaan sebelumnya. Jika seseorang pada awalnya telah menetapkan sebuah agama kemudian mengganti agamanya itu, maka masuk dalam pengertian berubah agama. Namun jika sebelumnya orang tersebut tidak beragama kemudian memutuskan untuk beragama, maka orang tersebut masuk ke dalam agama. Adapun kenversi agama secara etimologi dan terminologi dapat kita pahami sebagai berikut:[6]
1. Pengertian Konversi Agama Secara Etimologi
Konversi dalam tinjauan etimologi berasal dari bahasa Latin “conversio” yang berarti taubat, pindah, atau berubah. Dalam penggunaan bahasa inggris, kata tersebut lebih sering dikenal dengan “conversion” yang memiliki beberapa pengertian:
a.      “The process of changing or causing something to change from one form to another.” (proses perubahan atau menyebabkan sesuatu berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain).
b.      “The fact of changing one’s religion or beliefs or the action of persuading someone else to change theirs.” (oxforddictionaries.com) (sebuah fakta dari perubahan sebuah agama atau keyakinan, atau tindakan untuk mempengaruhi orang lain untuk merubah mereka).
Dari beberapa pengertian tersebut, kata konversi dapat juga diartikan berubah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain, satu agama kepada agama yang lain.[7]
Kendati demikian, beberapa tahun belakangan, mungkin hingga saat ini beberapa pihak memandang bahwa penggunaan kata konversi kurang tepat jika merujuk pada orang yang memeluk Islam. Sebut saja, prof. Dr. Deddy Mulyana, M.A dalam pengantar bukunya menyatakan bahwa “proses reversion (kembali menjadi muslim) adalah proses yang kini lazim terjadi di negara-negara Barat.”[8]
Dalam kutipan tersebut, alih-alih konversi, beliau lebih cenderung menggunakan kata reversion untuk menggambarkan perbedaan antara masuk ke dalam agama lain dengan masuk ke dalam agama islam. Hal ini merujuk pada sebuah pandangan bahwa sejatinya setiap umat manusia dilahirkan dalam keadaan Islam. Yang menyebabkan kemudian manusia tersebut memilih atau menjadi beragama lain, adalah faktor orang tua dan lingkungannya. Ketika manusia tersebut kembali kepangkuan Islam, maka tidak cocok jika disebut sebagai konversi. Karena sejatinya mereka tidak berubah, tetapi kembali kepada asal.
Menanggapi penggunaan istilah revert itulah, Idris Tawfiq menulis dalam sebuah situs onislam.net yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang isinya sedikit menggugat. Menurutnya, orang yang pertama kali menggunakan istilah revert untuk merujuk pada orang yang baru masuk islam disebut tidak akrab dengan bahasa inggris. Karena baginya, revert to berarti mengambil langkah mundur (kembali) dalam kehidupan, dan penggunakan kata revert memiliki konotasi yang negatif.[9]
Berdasarkan arti kata-kata tersebut dapat disimpulkan bahwa konversi agama mengandung pengertian: Bertobat, berubah agama, berbalik pendirian terhadap ajaran agama atau masuk ke dalam agama.
2. Pengertian Konversi Agama Secara terminologi
a.    Menurut Max Heirich bahwa konversi agama adalah suatu tindakan dimana seseorang atau sekelompol orang masuk atau pindah ke suatu sistem  kepercayaan atau perilaku yang berlawanan dengan kepercayaan sebelumnya.
b.    Menurut Thouless (1992), konversi agama adalah istilah yang pada umumnya diberikan untuk proses yang menjurus kepada penerimaan suatu sikap keagamaan, proses itu bisa terjadi secara berangsur-angsur atau secara tiba-tiba.
c.    William James mengatakan konversi agama adalah dengan kata kata: “to be converted, to be regenerated, to recive grace, to experience religion, to gain an assurance, are so many phrases which denote to the process, gradual or sudden, by which a self hitherro devide, and consciously wrong inferior and unhappy, becomes unified and consciously right superior and happy, in consequence of its firmer hold upon religious realities”. “berubah, digenerasikan, untuk menerima kesukaan, untuk menjalani pengalaman beragama, untuk mendapatkan kepastian adalah banyaknya ungkapan pada proses baik itu berangsur-angsur atau tiba-tiba, yang di lakukan secara sadar dan terpisah-pisah, kuran bahagia dalam konsekuensi penganutnya yang berlandaskan kenyataan beragama”.


d.   Walter Houston Clork dalam The Psychology of Religion memberikan pengertian konversi sebagai pertumbuhan atau perkembangan spiritual yang mengandung perubahan arah yang cukup berarti dalam sikap terhadap ajaran dan tindakan agama.
e.    Clark , memberikan definisi konversi sebagai berikut: konversi agama sebagai suatu macam pertumbuhan atau perkembangan spiritual yang mengandung perubahan arah yang cukup berarti, dalam sikap terhadap ajaran dan tindak agama. Lebih jelas dan lebih tegas lagi, konversi agama menunjukan bahwa suatu perubahan emosi yang tiba-tiba kearah mendapat hidayah Allah SWT secara mendadak, telah terjadi, yang mungkin saja sangat mendalam atau dangkal, dan mungkin pula terjadi perubahan tersebut secara berangsur-angsur.[10]
Dengan pengertian konversi agama di atas, secara jelas menekankan pada peristiwa perpindahan atau perubahan pemahaman, loyalitas keyakinan yang ditinggalkan dinilai salah dan yang baru merupakan yang benar. Namun, pada dasarnya tindakan konversi agama sama halnya dengan fakta-fakta psikis lainnya dan tidak dapat diteliti secara langsung proses terjadinya konversi agama tersebut, dan keyakinan-secara mendadak itu yang diawali oleh konflik batin dan perhelatan jiwa yang sangat panjang dalam perjalanan hidupnya.
Istilah konversi agama ada dua madzhab. Pertama, makna konversi sesuai asal bahasa yakni perubahan. Semua perubahan disebut konversi, baik itu perubahan keyakinan dari Islam ke non Islam ataupun dari non Islam ke Islam yang jelas mengalami perubahan agama. Kedua, konversi agama juga banyak menyangkut masalah psikologi (kejiwaan) manusia dan pengaruh lingkungan dimana manusia berada.
Konversi agama banyak menyangkut masalah kejiwaan dan pengaruh lingkungan. Dari beberapa uraian di atas memuat beberapa pengertian tentang konversi agama dengan ciri-ciri sebagai berikut [11]:
1.      Perubahan arah pandang atau keyakinan seseorang terhadap agama dan kepercayaan yang dianutnya selama ini.
2.      Perubahan yang terjadi dipengaruhi kondisi kejiwaan sehingga perubahan dapat terjadi karena berproses atau secara mendadak.
3.      Perubahan tersebut bukan hanya berlaku bagi perpindahan kepercayaan dari suatu agama ke agama lain tetapi juga termasuk perubahan pandangan terhadap agama yang dianutnya sendiri.
4.      Selain faktor kejiwaan dan kondisi lingkungan maka perubahan itu pun disebabkan faktor petunjuk (hidayah) dari Yang Maha Kuasa.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, setidaknya dapat dipahami, bahwa konversi agama menunjukan suatu perubahan emosi yang tiba-tiba kearah mendapat hidayah Allah SWT secara mendadak, telah terjadi, yang mungkin saja sangat mendalam atau dangkal, dan mungkin pula terjadi perubahan tersebut secara berangsur-angsur.

B. FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA KONVERSI AGAMA
            Pada tahap ini, para ahli berbeda pandangan mengenai faktor apa yang menyebabkan seseorang mengkonversi agamanya. Perbedaan pandangan ini, tentu saja dipengeruhi oleh sudut pandang, displin ilmu, dan background masing-masing.  
1.    Para  tokoh agama, berpandangan bahwa penyebab utama dari berpindahnya agama seseorang adalah kehendak Tuhan. Sebuah dorongan dari luar yang memiliki kehendak luar biasa pada dalam diri manusia. Hal tersebut tidak bisa dikontrol secara penuh oleh manusia. Karena pada hakikatnya hidayah, atau petunjuk merupakan milik Tuhan.
Dalam tradisi keilmuan serta kepercayaan Islam misalnya, Allah memegang peranan sentral bagi keislaman seseorang. Seseorang yang beragama dan memilih agama Islam sebagai agamanya, merupakan bentuk hidayah Allah. Tidak ada satu faktor pun yang dapat memaksakan hidayah. Seseorang tidak bisa memberi hidayah kepada orang lain, meskipun dia adalah seorang nabi. Firman Allah yang artinya:
“Sesungguhnya kamu (hai Muhammad) tidak akan dapat memberi hidayah (petunjuk) kepada orang yang kamu cintai, tetapi Allah lah yang memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendakiNya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. al-Qoshosh: 56)
Dalam ayat yang lain Allah berfirman yang artinya:
"Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya." (QS. al-Kahfi: 17)

2.      Para ahli sosiologi berpendapat bahwa yang menyebabkan terjadinya konversi agama adalah pengaruh sosial. Pengaruh sosial yang mendorong terjadinya konversi itu sendiri terdiri dari adanya berbagai faktor yang mendukung antara lain :
a.       Pengaruh hubungan antar pribadi baik pergaulan yang bersifat keagamaan maupun nonagama (kesenian, ilmu pengetahuan ataupun bidang kebudayaan yang lain).
b.      Pengaruh kebiasaan yang rutin. Maksudnya pengaruh ini dapat mendorong seseorang atau kelompok untuk berubah kepercayaan jika dilakukan secara rutin hingga ia menjadi terbiasa.
c.       Pengaruh anjuran atau propoganda dari orang-orang yang dekat. Misalnya: keluarga, famili, karib dan sebagainya.
d.      Pengaruh yang berasal dari pemimpin keagamaan. Ini bisa disebabkan karena terjalinnya hubungan yang baik dengan pemimpin agama. Ini pun bisa menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya konversi agama.
e.       Pengaruh perkumpulan yang berdasarkan hobi. Perkumpulan yang dimaksud seseorang berdasarkan hobinya dapat pula menjadi pendorong terjadinya konversi agama.
f.       Pengaruh kekuasaan pemimpin. Yaitu pengaruh kekuasaan pemimpin berdasarkan kekuatan hukum. Masyarakat umumnya cenderung menganut agama yang dianut oleh kepala negara atau raja mereka (Culus Regio Illius est Religio).
Dari sekian banyak pengaruh-pengeruh tersebut, setidaknya dapat dibagi menjadi dua garis besar, yaitu pengaruh yang mendorong secara persuasif berupa himbauan, ajakah, maupun anjuran. Dan pengaruh yang bersifat koersif yang cenderung lebih memaksa, mengancam, bahkan dengan kekerasan.
Meskipun pengaruh-pengaruh di atas memang memegang peranan, tetapi semua akan kembali pada bawaan atau kondisi kejiwaan orang tersebut. Faktanya, meskipun dipimpin oleh pemimpin keras dan ototoriter, mendapat tekanan baik verbal hingga fisik, dan lain sebagainya, tetapi jika orang tersebut telah mantap dalam keimanan dan memiliki jiwa yang kuat, maka hal tersebut tidak akan memberi pengaruh bagi dirinya untuk berpindah agama, justru pada kasus-kasus tertentu membuat dirinya semakin kuat memegang teguh agamanya.


3.      Para ahli psikologi berpendapat bahwa yang menjadi pendorong terjadinya konversi agama adalah faktor psikologis yang ditimbulkan oleh faktor intern (gejala batin)[12] maupun ekstern (lingkungan sosial)[13].
Dalam teori meaning system yang dikembangkan oleh Paloutzian berkaitan dengan konversi agama seseorang, beliau menyatakan bahwa konversi agama dan spiritual yang terjadi pada seseorang akibat perbedaan yang terjadi dalam kehidupan dan ada keraguan di dalam diri seseorang baik mengenai nilai-nilai, atau ajaran dalam agama yang dianutnya. Hal tersebut membuatnya membangun sistem makna baru. Yang kemudian mengarahkan pada perubahan-perubahan dalam hal-hal yang terhubung kepada sistem makna yang diragukannya itu. Dari sinilah proses perpindahan agama itu terjadi.[14]
William James (dalam Ramayulis, 2002) yang berhasil meneliti pengalaman berbagai tokoh yang mengalami konversi agama menyimpulkan sebagai berikut:
a.         Konversi terjadi karena adanya suatu tenaga jiwa yang menguasai pusat kebiasaan seseorang sehingga pada dirinya muncul persepsi baru, dalam bentuk suatu ide yang bersemi secara mantap.
b.         Konversi agama dapat terjadi oleh karena suatu krisis ataupun secara mendadak (tanpa suatu proses).
Kemudian James mengembangkan Faktor Penyebab konversi itu menjadi beberapa tipe:
1.         Tipe Volitional (perubahan bertahap), konversi agama ini terjadi secara berproses sedikit demi sedikit sehingga kemudian menjadi seperangkat aspek dan kebiasaan rohaniah yang baru. Konversi yang demikian itu terjadi sebagai suatu proses perjuangan batin yang ingin menjauhkan diri dari dosa karena ingin mendatangkan suatu kebenaran.



2.         Tipe Self-Surrender (perubahan drastis), konversi agama tipe ini adalah konversi yang terjadi secara mendadak. Seseorang tanpa mengalami suatu proses tertentu tiba-tiba berubah pendiriannya terhadap suatu agama yang dianutnya. Pada konversi agama tipe kedua ini James (dalam, Ramayulis, 2002) mengakui adanya pengaruh petunjuk dari Yang Maha Kuasa terhadap seseorang, karena gejala konversi ini terjadi dengan sendirinya pada diri seseorang sehingga ia menerima kondisi yang baru dengan penyerahan jiwa sepenuh-penuhnya.
Masalah-masalah yang menyangkut terjadinya konversi agama tersebut berdasarkan tinjauan psikologi tersebut yaitu dikarenakan beberapa faktor antara lain:
1.        Faktor Intern meliputi:
a.         Kepribadian. Secara psikologis tipe kepribadian tertentu akan mempengaruhi kehiduan jiwa seseorang. Dalam penelitiannya, James (dalam Ramayulis, 2002) menemukan bahwa tipe melankolis (orang yang bertipe melankolis memiliki sifat mudah sedih, mudah putus asa, salah satu pendukung seseorang melakukan konversi agama adalah jika seseorang itu dalam keadaan putus asa) yang memiliki kerentanan perasaan lebih mendalam dapat menyebabkan terjadinya konversi agama dalam dirinya.
b.        Faktor pembawaan. Menurut Sawanson (dalam Ramayulis, 2002) ada semacam kecenderungan urutan kelahiran mempengaruhi konversi agama. Anak sulung dan anak bungsu biasanya tidak mengalami tekanan batin, sedangkan anak-anak yang dilahirkan pada urutan antara keduanya sering mengalami stress jiwa, karena pada umumnya anak tengah kurang mendapatkan perhatian orangtua. Kondisi yang dibawa berdasarkan urutan kelahiran itu banyak mempengaruhi terjadinya konversi agama.
2.        Faktor Ekstern meliputi:
a.       Faktor keluarga. keretakan keluarga, ketidakserasian, berlainan agama, kesepian, kesulitan seksual, kurang mendapatkan pengakuan kaum kerabat dan alinnya. Kondisi yang demikian menyebabkan seseorang akan mengalami tekanan batin sehingga sering terjadi konversi agama dalam usahanya untuk meredakan tekanan batin yang menimpa dirinya.
b.      Lingkungan tempat tinggal. Orang yang merasa terlempar dari lingkungan tempat tinggal atau tersingkir dari kehidupan di suatu tempat merasa dirinya hidup sebatang kara. Keadaan yang demikian menyebabkan seseorang mendambakan ketenangan dan mencari tempat untuk bergantung hinggakegelisahan batinnya hilang.
c.       Perubahan status. Perubahan status terutama yang berlangsung secara mendadak akan banyak mempengaruhi terjadinya konversi agama, misalnya: perceraian, keluar dari sekolah atau perkumpulan, perubahan pekerjaan, menikah dengan orang yang berbeda agama dan sebagainya.
d.      Kemiskinan. Kondisi sosial ekonomi yang sulit juga merupakan faktor yang mendorong dan mempengaruhi terjadinya konversi agama.
4.      Para ahli ilmu pendidikan berpendapat bahwa konversi agama dipengaruhi oleh kondisi pendidikan. Penelitian ilmu sosial menampilkan data dan argumentasi bahwa suasana pendidikan ikut mempengaruhi konversi agama. Walaupun belum dapat dikumpulkan data secara pasti tentang pengaruh lembaga pendidikan terhadap konversi agama namun berdirinya sekolah-sekolah yang bernaung di bawah yayasan agama tentunya mempunyai tujuan keagamaan pula.

Menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat, faktor-faktor konversi agama meliputi:
1.    Pertentangan batin (konflik jiwa) dan ketegangan perasaan, orang-orang yang gelisah, di dalam dirinya bertarung berbagai persoalan, yang kadang-kadang dia merasa tidak berdaya menghadapi persoalan atau problema, itu mudah mengalami konversi agama. Di samping itu sering pula terasa ketegangan batin, yang memukul jiwa , merasa tidak tenteram, gelisah yang kadang-kadang terasa tidak ada sebabnya dan kadang-kadang tidak diketahui. Dalam semua konversi agama, boleh dikatakan, latar belakang yang terpokok adalah konflik jiwa (pertentangan batin) dan ketegangan perasaan, yang mungkin disebabkan oleh berbagai keadaan
2.    Pengaruh hubungan dengan tradisi agama, diantara faktor-faktor penting dalam riwayat konversi itu, adalah pengalaman-pengalaman yang mempengaruhinya sehingga terjadi konversi tersebut. Diantara pengaruh yang terpenting adalah pendidikan orang tua di waktu kecil mempunyai pengaruh yang besar terhadap diri orang-orang, yang kemudian terjadi padanya konflik konversi agama, adalah keadaan mengalami ketegangan yang konflik batin itu, sangat tidak bisa, tidak mau, pengalaman di waktu kecil, dekat dengan orang tua dalam suasana yang tenang dan aman damai akan teringat dan membayang-bayang secara tidak sadar dalam dirinya. Keadaan inilah yang dlam peristiwa-peristiwa tertentu menyebabkan konversi tiba-tiba terjadi. Faktor lain yang tidak sedikit pengaruhnya adalah lembaga-lembaga keagamaan, masjid-masjid atau gerejagereja. Melalui bimbingan lembaga-lembaga keagamaan itu, termasuk salah satu faktor penting yang memudahkan terjadinya konversi agama jika pada umur dewasanya ia kemudian menjadi acuh tak acuh pada agama dan mengalamkonflik jiwa atau ketegangan batin yang tidak teratasi.
3.    Ajakan/seruan dan sugesti, banyak pula terbukti, bahwa diantara peristiwa konversi agama terjadi karena pengaruh sugesti dan bujukan dari luar. Orang-orang yang gelisah, yang sedang mengalami kegoncangan batin, akan sangat mudah menerima sugesti atau bujukan-bujukan itu. Karena orang-orang yang sedang gelisah atau goncangan jiwanya itu, ingin segera terlepas dari penderitaannya, baik penderitaan itu disebabkan oleh keadaan ekonomi, sosial, rumah tangga, pribadi atau moral.
4.    Faktor-faktor emosi, orang-orang yang emosionil (lebih sensitif atau banyak dikuasai oleh emosinya), mudah kena sugesti, apabila ia sedang mengalami kegelisahan. Kendatipun faktor emosi, secara lahir tampaknya tidak terlalu banyak pengaruhnya, namun dapat dibuktikan bahwa, emosi adalah salah satu faktor yang ikut mendorong kepada terjadinya konversi agama, apabila ia sedang mengalami kekecewaan.
5.    Kemauan, kemauan yang dimaksudkan adalah kemauan seseorang itu sendiri untuk memeluk kepercayaan yang lain Selain faktor-faktor diatas, Sudarno (2000) menambahkan empat factor pendukung, yaitu:
6.    Cinta, cinta merupakan anugrah yang harus dipelihara, tanpa cinta hidup tidak akan menjadi indah dan bahagia, cinta juga merupakan salah satu fungsi sebagai psikologi dan merupakan fitrah yang diberikan kepada manusia ataupun binatang yang banyak mempengaruhi hidupnya, seseorang dapat melakukan konversi agama karena dilandaskan perasaan cinta kepada pasangannya.

7.    Pernikahan, adalah salah suatu perwujudan dari perasaan saling mencintai dan menyayangi.
8.    Hidayah, “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang dikendaki- Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk” (QS. Al-Qasas: 56) “Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki kelangit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman”. (QS. Al An’am: 125) Ayat-ayat Al-Qur’an diatas dapat diambil kesimpulan bahwa bagaimanapun usaha orang untuk mempengaruhi seseorang untuk mengikuti keyakinannya, tanpa ada kehendak dari Allah SWT tidak akan bisa. Manusia diperintah oleh Allah SWT untuk berusaha, namun jangan sampai melawankehendak Allah SWT dengan segala pemaksaan.
Kebenaran agama, menurut Djarnawi agama yang benar adalah yang tepat memilih Tuhannya, tidak keliru pilih yang bukan Tuhan dianggap Tuhan. Kebenaran agama yang dimaksud tidak karena paksaan, bujukan dari orang lain, akan tetapi lewat kesadaran dan keinsyafan antara lain melalui dialog-dialog, ceramah, mempelajari literatur, buku-buku dan media lain.
Pengaruh-pengaruh tersebut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu pengaruh yang mendorong secara persuasif (ajakan/tidak memaksa) dan pengaruh yang bersifat koersif ( paksaan).

C. PROSES KONVERSI AGAMA
            Konversi agama menyangkut perubahan batin seseorang secara mendasar. Proses konversi agama ini dapat diumpamakan seperti proses pemugaran sebuah gedung, bangunan lama dibongkar dan pada tempat yang sama didirikan bangunan baru yang lain sama sekali dari bangunan sebelumnya. Dengan demikian seseorang tidak serta merta beralih agama. Terlebih untuk agama, yang masing-masingnya memiliki perangkat aturan serta nilai yang apabila telah terintegrasi pada diri seseorang akan mempengaruhi cara pandang, bertindak, tutur kata orang tersebut berdasarkan agamanya. Oleh karenanya, proses terjadinya konversi tentu memakan waktu.
Carrier (dalam Ramayulis, 2002) membagi proses tersebut dalam tahapan-tahapan sebagai berikut:
1.    Terjadi desintegrasi sintesis kognitif (kegoncangan jiwa) dan motivasi sebagai akibat dari krisis yang dialami.
2.    Reintegrasi (penyatuan kembali) kepribadian berdasarkan konsepsi agama yang  .Dengan adanya reintegrasi ini maka terciptalah kepribadian baru yang berlawanan dengan struktur yang lama.
3.    Tumbuh sikap menerima konsepsi (pendapat) agama yang baru serta peranan yang di tuntut oleh ajarannya.
4.    Timbul kesadaran bahwa keadaan yang baru itu merupakan panggilan suci petunjuk Tuhan.
            Demikian pula seseorang atau kelompok yang mengalami proses konversi agama ini, segala bentuk kehidupan batinnya yang semula mempunyai pola tersendiri berdasarkan pandangan hidup yang dianutnya(agama), maka setelah terjadi konversi agama pada dirinya secaca spontan pula sama ditinggalkan sama sekali. Segala bentu kepercayann batin terhadap kepercayaan lama seperti: harapan, rasa bahagia, keselamatan, kemantapan berubah menjadi berlawanan arah. Timbullah gejala-gejala baru berupa: perasaan serba tidak lengkap dan tidak sempurna. Gejala ini menimbulkan proses kejiwaan dalam bentuk: merenung , timbulnya tekanan batin, penyesalan diri, rasa berdosa, cemas terhadap masa depan, perasaan susah yang ditimbulkan oleh kebimbangan.
            Perasaan yang berlawanan itu menimbulkan pertentangan dalam batin sehingga untuk mengatasi kesulitan tersebut harus dicari jalan penyalurannya. Umumnya apabila gejala tersebut sudah dialami seseorang atau kelompok maka dirinya menjadi lemah dan pasrah ataupun timbul semacam peledakan perasaan untuk menghindarkan diri dari pertentangan batin itu. Ketenangan batin akan terjadi dengan sendirinya bila yang bersangkutan telah mampu memilih pandangan hidup yang baru. Pandangan hidup yang dipilih tersebut meerupakan pertaruhan terhadap masa depannya sehingga ia merupakan pegangan baru dalam kehidupan selanjutnya.
Sebagai hasil dari pemilihan terhadap pandangan hidup itu maka bersedia dan mampu untuk membaktikan diri kepada  tuntutan-tuntutan dari peraturan ada dalam pendangan hidup yang dipilihnya itu berupa ikut berpartisipasi secara penuh. Makin kuat keyakinannya terhadap kebenaran pandangan hidup itu akan semakin tinggi pula nilai bakti yang diberikannya.
Sebenarnya sukar untuk menentukan satu garis, atau satu rentetan proses yang akhirnya membawa kepada keadaan keyakinan yang berlawanan dengan keyakinannya yang lama. Proses ini berbeda antara satu orang dengan lainnya, karena disebabkan beberapa faktor, antara lain:
1.  Perbedaan perkembangan psikis seseorang
2.  Pengalaman dan pendidikan agama yang diterimanya sejak kecil
3.  Lingkungan dimana ia hidup atau suasana yang mempengaruhi ia hidup
4.  Pengalaman terakhir yang menjadi puncak konversi itu sendiri
5.  Selanjutnaya apa yang terjadi pada hidupnya sesudah terjadinya konversi tersebut.
M.T.L Penido berpendapat,[15] bahwa konversi agama mengandung 2 unsur yaitu:
a.       Unsur dari dalam diri (endogenos origin)
Yaitu proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang atau kelompok yang membentuk suatu kesadaran untuk mengadakan suatu transformasi yang disebabkan oleh krisis yang telah terjadi untuk mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan pribadi.
b.      Unsur dari luar diri (exogenos origin)
Yaitu proses perubahan yang terjadi dari luar diri atau kelompok, dan hal itu kemudian menekan pengaruhnya terhadap kesadaran seseorang untuk menyelesaikannya.
Kedua unsur tersebut kemudian mempengaruhi kehidupan batin untuk aktif berperan memilih penyelesaian yang mampu memberikan ketenangan batin kepada yang bersangkutan. Jadi, disini terlihat adanya pengaruh motivasi dari unsur tersebut terhadap batin. Jika pemilihan tersebut sudah serasi dengan kehendak batin, terciptalah suatu ketenangan.[16]
Seiring dengan timbulnya ketenangan batin tersebut terjadilah semacam perubahan total dalam struktur psikologis sehingga struktur lama terhapus dan digantikan dengan struktur yang baru sebagai hasil pilihan yang dianggap benar.
Prof.Dr. Zakiah. Daradjat memberikan pendapatnya yang berdasarkan proses kejiwaan yang terjadi melalui 5 tahap, yaitu:
  1. Masa tenang, disaat ini kondisi seseorang berada dalam keadaan yang tenang karena masalah agama belum mempengaruhi sikapnya. Terjadi semacam sikap apriori (belum mengetahui) terhadap agama. Keadaan yang demikian dengan sendirinya tidak akan mengganggu keseimbangan batinnya, hingga ia berada dalam keadaan tenang dan tentram. Segala sikap dan tingkah laku dan sifat-sifatnya acuh tak acuh atau menentang agama.
  2. Masa ketidaktenangan, tahap ini berlangsung jika masalah agama telah mempengaruhi batinnya. Mungkin di karenakan suatu krisis, musibah ataupun perasaan berdosa yang di alami.Hal tersebut menimbulkan semacam kegoncangan dalam kehidupan batin sehingga menyebabkan kegoncangan yang berkecamuk dalam bentuk rasa gelisah, panik, putus asa, ragu, tegang dan bimbang. Perasaan tersebut menyebabkan seseorang lebih sensitif dan hampirhampir putus asa dalam hidupnya dan mudah terkena sugesti. Pada tahap ini terjadi proses pemilihan terhadap ide atau kepercayaan baru untuk mengatasi konflik batinnya.
  3. Masa konversi, tahap ketiga ini terjadi setelah konflik batin mengalami keredaan karena kemantapan batin telah terpenuhi berupa kemampuan menentukan keputusan untuk memilih yang dianggap serasi ataupun timbulnya rasa pasrah. Keputusan ini memberikan makna dalam menyelesaikan pertentangan batin yang terjadi, hidup yang tadinya seperti dilamun ombak atau di porak porandakan oleh badai topan persoalan, tiba-tiba angin baru berhembus, sehingga terciptalah ketenangan dalam bentuk kesediaan menerima kondisi yang dialami sebagai petunjuk ilahi. Karena disaat ketenangan batin itu terjadi dilandaskan atas suatu perubahan sikap kepercayaan yang bertentangan dengan sikap kepercayaan sebelumnya, maka terjadilah proses konversi agama.
  4. Masa tenang dan tentram, masa tenang dan tentram yang kedua ini berbeda dengan tahap yang sebelumnya. Jika pada tahap pertama keadaan itu dialami karena sikap yang acuh tak acuh, maka ketenangan dan ketentraman pada tahap ketiga ini di timbulkan oleh kepuasan terhadap keputusan yang sudah di ambil. Ia timbul karena telah mampu membawa suasana batin menjadi mantap sebagai pernyataan menerima konsep baru. Setelah krisis konversi lewat dan masa menyerah di lalui, maka timbullah perasaan atau kondisi jiwa yang baru, rasa aman dan damai di hati, tiada lagi dosa yang tidak diampuni Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada kesalahan yang patut di sesali, semuanya telah lewat, segala persoalan menjadi mudah dan terselesaikan. lapang Dada, menjadi pemaaf dan dengan mudah untuk memaafkan kesalahan orang lain.
  5. Masa ekspresi konversi, sebagai ungkapan dari sikap menerima, terhadap konsep baru dari ajaran agama yang diyakininya, maka tindak tanduk dan sikap hidupnya diselaraskan dengan ajaran dan peraturan agama yang dipilih tersebut. Pencerminan ajaran dalam bentuk amal perbuatan yang serasi dan relevan sekaligus merupakan pernyataan konversi agama itu dalam kehidupan.
Menurut Wasyim secara garis besar membagi proses konversi agama menjadi tiga, yaitu:
1.    Masa Gelisah (unsert), kegelisahan atau ketidaktenangan karena adanya gap antara seseorang yang beragama dengan Tuhan yang di sembah. Ditandai dengan adanya konflik dan perjuangan mental aktif.
2.    Adanya rasa pasrah
3.    Pertumbuhan secara perkembangan yang logis, yakni tampak adanya
realisasi dan ekspresi konversi yang dialami dalam hidupnya.
Diawal-awal terjadinya perubahan itu, setiap diri merasakan kegelisahan batin sulit untuk menentukan secara spontan mana yang harus diikuti. Kesulitan seperti itu adalah wajar, karena agama sebagai keyakinan menyangkut sisi-sisi kehidupan batin seseorang yang berkaitan dengan nilai.
Bagi manusia nilai adalah suatu yang dianggap benar dan menyangkut pandangan hidup. Oleh karena itu, selain peka, nilai juga merupakan sesuatu yang perlu dipertahankan oleh seseorang. Bahkan, pada tingkat yang paling tinggi pemeluk keyakinan itu akan rela mempertaruhkan nyawa, demi mempertahankan nilai itu.

D. JENIS-JENIS KONVERSI AGAMA
Secara umum, jenis konversi agama dapat dikelompokkan menjadi dua: pertama, konversi internal, yakni perpindahan agama yang dilakukan seseorang dari satu pemikiran kepada pemikiran yang lain, satu mazhab kepada mazhab yang lain tetapi masih tetap berada dalam agama yang sama.
Kedua, konversi eksternal. Yaitu pindahnya seseorang dari satu agama kepada agama yang lain yang berbeda.





BAB III
PENUTUP


A.    KESIMPULAN
v  Konversi Agama (religious conversion) secara umum dapat diartikan dengan perubahan keyakinan(agama) yang berbeda.
v  Ada dua faktor yang mempunyai pengaruh dalam konversi agama:
1.      Faktor intern antara lain; kepribadian dan pembawaan.
2.      Faktor ekstern antara lain; keluarga, lingkungan, perubahan status, dan kemiskinan.
v  Proses konversi agama mengandung 2 unsur yaitu:
a.    Unsur dari dalam diri (endogenos origin)
Yaitu proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang atau kelompok yang membentuk suatu kesadaran untuk mengadakan suatu transformasi agama.
b.   Unsur dari luar diri (exogenos origin)
Yaitu proses perubahan yang terjadi dari luar diri atau kelompok, dan hal itu kemudian menekan pengaruhnya terhadap kesadaran seseorang untuk menyelesaikannya.

B.     SARAN
      Pemakalah menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, banyak hal-hal yang masih kurang dalam makalah ini. Maka dari pada itu pemakalah mengaharapkan kritikan dan saran dari para pembaca dan terutama sekali kepada dosen pembimbing, guna untuk perubahan dan perbaikan bagi pemakalah dikemudian harinya.










DAFTAR PUSTAKA

Atang ABD. Hakim, dan Jaih Mubarok, “Metodologi Studi Islam”, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya), tt.
Ahmad, Maghfur. “Agama dan Psikoanalisa Sigmund Freud”. Jurnal Religia. vol.14. No.2. Oktober 2011.
Bambang Syamsul Arifin,  “Psikologi Agama”, (Bandung:Pustaka Setia, 2008)
Daradjat,  ZakiahIlmu Jiwa Agama”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996)
______________, , “Ilmu Jiwa Agama”, (Jakarta: Bulan Bintang), 2005
Jalaluddin, “Psikologi Agama; Memahami Perilaku dengan Mengaplikasikan Pinsip-prinsip Psikologi”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), Cetakan ke-16
________, “Psikologi Agama”, (Jakarta: Rajawali Pers. 1996)
Mulyana, Deddy. “Santri-santri Bule: Kesaksian Muslim Amerika, Eropa, dan Australia”. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya), Cet. III, 2004.
Nelson, James M. “Psychology, Religion, and Spirituality”. (USA: Departmentof Psychology. 2009).
Paloutzian, Raymond F and Crystal L. Park (eds.) “Handbook of The Psychology of Religion and Spirituality”. (New York, London: The Guilford Press: 2005). Cet. IX.
Tawfiq, Idris. Artikel. Terjemah. “Berhenti Memanggil Saya ‘a Revert“. 2013,

Website :




[1] Raymond F. Paloutzian, “Religious Conversion and Spiritual Transformation A Meaning-System Analysis”, dalam Raymond F. Paloutzian and Crystal L. Park (eds.), “Handbook of The Psychology of Religion and Spirituality”, (Cet. IX; New York, London: The Guilford Press: 2005), h. 331.
[2] Atang ABD. Hakim, dan Jaih Mubarok, “Metodologi Studi Islam”, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya), hal.3
[3] Jalaluddin, “Psikologi Agama; Memahami Perilaku dengan Mengaplikasikan Pinsip-prinsip Psikologi”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), Cetakan ke-16, hal.379
[4] Zakiyah Daradjat, “Ilmu Jiwa Agama”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hal. 137.
[5] Jalaluddin, “Psikologi Agama”, (Jakarta: Rajawali Pers. 1996), hal.245
[6] Lihat, Ramayulis, “Psikologi Agama”, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), cet. 9, hal. 79-80
[7] Ibid.
[8] Deddy Mulyana, “Santri-santri Bule: Kesaksian Muslim Amerika, Eropa, dan Australia”. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), Cet. III, hal.25
[9] Tawfiq, Idris. Artikel. Terjemah. “Berhenti Memanggil Saya ‘a Revert“. 2013, http://www.antiliberal.net/2013/10/berhenti-memanggil-saya-revert.html/
[10] Zakiah Daradjat, “Ilmu Jiwa Agama”, (Penerbit Bulan Bintang 1970), hal.1
[11] Lihat, Ramayulis,Op.Cit.
[12] Sebagi contoh adalah adanya tekanan batin, jiwa yang kosong dan ada suatu ketidak berdayaan seseorang, maka akan mendorong seseorang untuk mencari jalan keluar, atau kemudian mencari perlindungan pada kekuatan lain yang mampu memberikan kehidupan jiwa yang tenang (ketenangan batin) dan tentram.
[13] Tempat tinggal, perubahan status seperti pekerjaan,jabatan,perkawinan, kemiskinan, dan lain-lain.
[14] James M. Nelson,. “Psychology, Religion, and Spirituality”. (USA: Departmentof Psychology. 2009), hal.136
[15] Lihat dalam; Jalaluddin, “Psikologi Agama; Memahami Perilaku dengan Mengaplikasikan Pinsip-prinsip Psikologi”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), Cetakan ke-16, hal.386-387
[16] Bambang Syamsul Arifin, “Psikologi Agama”, (Bandung:Pustaka Setia, 2008), hal.198-199