KONVERSI AGAMA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Agama
merupakan objek pembahasan yang tidak akan pernah kering untuk dikaji dan
dibahas. Ibarat samudra yang tidak akan pernah habis meskipun diminum oleh
seluruh manusia yang ada di dunia ini. Para peminumnya ada yang merasa
terpuaskan, dan ada yang malah kering dahaga hingga menistakan. Akan tetapi,
bagaimanapun samudra itu akan tetap ada.
Manusia hidup di dunia ini tidak akan terlepas dari berbagai
masalah kehidupan. Ada yang bahagia, ada yang menderita, ada yang
miskin dan adapula yang kaya. Apalagi hidup di zaman yang serba modern ini, apabila kita amati dampak yang paling menonjol
dari modernitas adalah keterasingan (alienasi) yang dialami oleh
manusia. Alienasi muncul dari cara pandang dualisme, yaitu:
jiwa-badan, makhluk-Tuhan, aku-yang lain, kapitalis-proletar, dll. Akhirnya
terjadilah gejala reifikasi atau pembedaan antar sisi dari dualitas tersebut.
Ini disebut pula objektivikasi, yaitu manusia memandang dirinya sebagai objek,
seperti layaknya sebuah benda.
Dalam filsafat kita mengenal dengan aliran materialisme.
Semakin kuat pengaruh materialisme, semakin kuat pula gejala alienasi
(keterasingan) diderita umat manusia. Anda pasti tidak menghendaki filosofi
akan berdampak sedemikian menyedihkan. Dan masyarakat dunia Barat adalah yang
paling menderita karena materialisme yang sudah berkembang biak sangat subur di
sana. Jika Anda membayangkan bahwa Anda
terasing dengan orang-orang di sekitar Anda, mungkin Anda bisa mengalihkannya
dengan sibuk dengan diri sendiri. Tetapi, bagaimana jika Anda terasing dengan
diri Anda sendiri? Degradasi moral sering terjadi karena manusia tidak
mampu mengatasi penyakit jiwa manusia modern ini.
Dari berbagai masalah yang dihadapi tersebut tidak jarang
menyebabkan seseorang mengalami goncangan batin, bahkan terkadang merasa putus
asa. Untuk itu manusia akan mencoba atau berusaha untuk mencari pegangan atau
ide baru, dimana disitu dia bisa merasakan ketenangan jiwa. Suatu keyakinan
yang akan membuat hidupnya terasa lebih berarti, hidup yang bertujuan, yaitu
kembali kepada Tuhannya. Terjadilah pembalikan arah, atau konversi. Maka dapat
kita lihat yang menjadi pendorong terjadinya konversi agama
adalah faktor psikologis yang ditimbulkan oleh faktor intern maupun ekstern.
Ketenangan jiwa, itulah yang
kemudian yang menjadikan pembahasan tentang agama menjadi sangat menarik.
Terlebih jika pada kenyataannya tahap “ketenangan jiwa” merupakan kondisi
kejiwaan yang berhubungan dengan psikologi. Berkaitan dengan hal tersebut, maka
pernyataan sebelumnya bahwa “tidak ada manusia yang dapat hidup tenang tanpa
tuntunan sebuah agama” harus dibedah secara lebih dalam. Mengingat ternyata
banyak manusia yang sudah memeluk sebuah agama, tetapi tidak mendapatkan
ketenangan dan kebahagiaan, bukan materil, tetapi jiwa.
Fenomena yang terjadi bukan hanya saat ini, banyak orang yang
mengganti agamanya. Alasannya ada yang karena tidak merasa tenang, aman, damai,
atau apa pun itu, sampai pada alasan yang paling sederhana, ekonomi. Untuk
itulah istilah konversi agama muncul.
B. TUJUAN
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah agar pembaca
dapat memahami lebih dalam tentang pengertian konversi agama, faktor-faktor
penyebabnya, dan bagaimana proses terjadinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
KONVERSI AGAMA
Tidak mudah memang membuat atau menentukan arti sebuah kata.
Terlebih jika kata tersebut akan menjadi sebuah istilah untuk menunjukkan
kepada peristiwa, kecenderungan, atau kondisi sesuatu yang abstrak. Setidaknya,
pengertian apa pun yang telah ada akan menimbulkan debatable.
Dalam ranah psikologi, pembahasan
mengenai konversi agama selalu menjadi pembahasan yang menarik. Pasalnya,
mempelajari apa dan bagaimana proses terjadinya perpindahan agama (religious convertion) dan transformasi
spiritual (spiritual transformation)
merupakan tujuan utama dan inti dari disiplin psikologi agama (goal central to the heart and soul of the
discipline of psychology). Hal ini terkait dengan adanya perubahan dari
individu yang mengalami proses terjadinya konversi tersebut. (Paloutzian, 2005, h. 331)[1]
Konversi berasal dari kata conversion yang
berarti, tobat, pindah, berubah. Sehingga converstion berarti
berubah dari suatu keadaan atau dari suatu agama ke agama lain (change from
one state, or from one religius to another). Sedang kata religion yang biasa dialih bahasakan menjadi “agama”, pada mulanya
lebih berkonotasi sebagai kata kerja, yang mencerminkan sikap keberagamaan atau kesalehan hidup
berdasarkan nilai-nilai ketuhanan.[2] Menurut Jalaluddin, konversi Agama (Religious Conversion) dapat
diartikan dengan berubah agama ataupun masuk agama,[3]
atau konversi agama berarti terjadinya
suatu perubahan keyakinan yang berlawanan arah dengan keyakinan semula.[4]
Konversi Agama adalah istilah yang pada umumnya
diberikan untuk proses yang menjurus kepada penerimaan suatu sikap
keagamaan; proses itu bisa terjadi secara berangsur-angsur atau secara
tiba-tiba.[5] Secara umum, konversi agama dapat
diartikan berubah agama atau masuk ke dalam sebuah agama. Mungkin saja
diferensiasi dari berubah agama atau masuk ke dalam agama, bertitik tolak dari
kondisi keberagamaan sebelumnya. Jika seseorang pada awalnya telah menetapkan
sebuah agama kemudian mengganti agamanya itu, maka masuk dalam pengertian
berubah agama. Namun jika sebelumnya orang tersebut tidak beragama kemudian
memutuskan untuk beragama, maka orang tersebut masuk ke dalam agama. Adapun kenversi agama secara etimologi dan terminologi
dapat kita pahami sebagai berikut:[6]
1. Pengertian Konversi Agama Secara Etimologi
Konversi dalam tinjauan etimologi
berasal dari bahasa Latin “conversio”
yang berarti taubat, pindah, atau berubah. Dalam penggunaan bahasa inggris,
kata tersebut lebih sering dikenal dengan “conversion”
yang memiliki beberapa pengertian:
a.
“The process of changing or causing something to change from one
form to another.” (proses perubahan atau menyebabkan
sesuatu berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain).
b.
“The fact of changing one’s religion or beliefs or the action of
persuading someone else to change theirs.” (oxforddictionaries.com)
(sebuah fakta dari perubahan sebuah agama atau keyakinan, atau tindakan untuk
mempengaruhi orang lain untuk merubah mereka).
Dari
beberapa pengertian tersebut, kata konversi dapat juga diartikan berubah dari
satu keadaan kepada keadaan yang lain, satu agama kepada agama yang lain.[7]
Kendati
demikian, beberapa tahun belakangan, mungkin hingga saat ini beberapa pihak
memandang bahwa penggunaan kata konversi kurang tepat jika merujuk pada orang
yang memeluk Islam. Sebut saja, prof. Dr. Deddy Mulyana, M.A dalam pengantar
bukunya menyatakan bahwa “proses reversion
(kembali menjadi muslim) adalah proses yang kini lazim terjadi di negara-negara
Barat.”[8]
Dalam kutipan tersebut, alih-alih
konversi, beliau lebih cenderung menggunakan kata reversion untuk menggambarkan perbedaan antara masuk ke dalam agama
lain dengan masuk ke dalam agama islam. Hal ini merujuk pada sebuah pandangan
bahwa sejatinya setiap umat manusia dilahirkan dalam keadaan Islam. Yang
menyebabkan kemudian manusia tersebut memilih atau menjadi beragama lain,
adalah faktor orang tua dan lingkungannya. Ketika manusia tersebut kembali
kepangkuan Islam, maka tidak cocok jika disebut sebagai konversi. Karena
sejatinya mereka tidak berubah, tetapi kembali kepada asal.
Menanggapi penggunaan istilah revert
itulah, Idris Tawfiq menulis dalam sebuah situs onislam.net yang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang isinya sedikit menggugat.
Menurutnya, orang yang pertama kali menggunakan istilah revert untuk merujuk pada orang yang baru masuk islam disebut tidak
akrab dengan bahasa inggris. Karena baginya, revert to berarti mengambil langkah mundur (kembali) dalam
kehidupan, dan penggunakan kata revert memiliki konotasi yang negatif.[9]
Berdasarkan arti kata-kata tersebut dapat disimpulkan
bahwa konversi agama mengandung pengertian: Bertobat, berubah agama, berbalik
pendirian terhadap ajaran agama atau masuk ke dalam agama.
2. Pengertian Konversi Agama Secara terminologi
a. Menurut Max Heirich bahwa konversi agama adalah suatu
tindakan dimana seseorang atau sekelompol orang masuk atau pindah ke suatu
sistem kepercayaan atau perilaku yang berlawanan dengan kepercayaan
sebelumnya.
b. Menurut Thouless (1992), konversi agama adalah istilah
yang pada umumnya diberikan untuk proses yang menjurus kepada penerimaan suatu
sikap keagamaan, proses itu bisa terjadi secara berangsur-angsur atau secara
tiba-tiba.
c.
William James mengatakan konversi agama
adalah dengan kata kata: “to be converted, to be regenerated, to recive grace,
to experience religion, to gain an assurance, are so many phrases which denote
to the process, gradual or sudden, by which a self hitherro devide, and
consciously wrong inferior and unhappy, becomes unified and consciously right
superior and happy, in consequence of its firmer hold upon religious
realities”. “berubah, digenerasikan, untuk menerima kesukaan, untuk
menjalani pengalaman beragama, untuk mendapatkan kepastian adalah banyaknya
ungkapan pada proses baik itu berangsur-angsur atau tiba-tiba, yang di lakukan
secara sadar dan terpisah-pisah, kuran bahagia dalam konsekuensi penganutnya
yang berlandaskan kenyataan beragama”.
d.
Walter
Houston Clork dalam The Psychology of
Religion memberikan pengertian konversi sebagai pertumbuhan atau
perkembangan spiritual yang mengandung perubahan arah yang cukup berarti dalam
sikap terhadap ajaran dan tindakan agama.
e.
Clark , memberikan
definisi konversi sebagai berikut: konversi agama sebagai suatu macam
pertumbuhan atau perkembangan spiritual yang mengandung perubahan arah yang
cukup berarti, dalam sikap terhadap ajaran dan tindak agama. Lebih jelas dan
lebih tegas lagi, konversi agama menunjukan bahwa suatu perubahan emosi yang
tiba-tiba kearah mendapat hidayah Allah SWT secara mendadak, telah terjadi,
yang mungkin saja sangat mendalam atau dangkal, dan mungkin pula terjadi
perubahan tersebut secara berangsur-angsur.[10]
Dengan pengertian
konversi agama di atas, secara jelas menekankan pada peristiwa perpindahan atau
perubahan pemahaman, loyalitas keyakinan yang ditinggalkan dinilai salah dan
yang baru merupakan yang benar. Namun, pada dasarnya tindakan konversi agama
sama halnya dengan fakta-fakta psikis lainnya dan tidak dapat diteliti secara
langsung proses terjadinya konversi agama tersebut, dan keyakinan-secara
mendadak itu yang diawali oleh konflik batin dan perhelatan jiwa yang sangat
panjang dalam perjalanan hidupnya.
Istilah konversi agama
ada dua madzhab. Pertama, makna konversi sesuai asal bahasa yakni
perubahan. Semua perubahan disebut konversi, baik itu perubahan keyakinan dari
Islam ke non Islam ataupun dari non Islam ke Islam yang jelas mengalami
perubahan agama. Kedua, konversi agama juga banyak menyangkut masalah psikologi
(kejiwaan) manusia dan pengaruh lingkungan dimana manusia berada.
Konversi agama banyak menyangkut masalah kejiwaan dan
pengaruh lingkungan. Dari beberapa uraian di atas memuat beberapa pengertian tentang
konversi agama dengan ciri-ciri sebagai berikut [11]:
1. Perubahan arah
pandang atau keyakinan seseorang terhadap agama dan kepercayaan yang dianutnya
selama ini.
2. Perubahan yang
terjadi dipengaruhi kondisi kejiwaan sehingga perubahan dapat terjadi karena
berproses atau secara mendadak.
3. Perubahan
tersebut bukan hanya berlaku bagi perpindahan kepercayaan dari suatu agama ke agama
lain tetapi juga termasuk perubahan pandangan terhadap agama yang dianutnya
sendiri.
4. Selain faktor
kejiwaan dan kondisi lingkungan maka perubahan itu pun disebabkan faktor
petunjuk (hidayah) dari Yang Maha Kuasa.
Berdasarkan
pengertian-pengertian tersebut, setidaknya dapat dipahami, bahwa konversi agama
menunjukan suatu perubahan emosi yang tiba-tiba kearah mendapat hidayah Allah
SWT secara mendadak, telah terjadi, yang mungkin saja sangat mendalam atau
dangkal, dan mungkin pula terjadi perubahan tersebut secara berangsur-angsur.
B. FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA KONVERSI AGAMA
Pada tahap ini, para ahli berbeda
pandangan mengenai faktor apa yang menyebabkan seseorang mengkonversi agamanya.
Perbedaan pandangan ini, tentu saja dipengeruhi oleh sudut pandang, displin
ilmu, dan background masing-masing.
1. Para
tokoh agama, berpandangan bahwa penyebab
utama dari berpindahnya agama seseorang adalah kehendak Tuhan. Sebuah dorongan
dari luar yang memiliki kehendak luar biasa pada dalam diri manusia. Hal
tersebut tidak bisa dikontrol secara penuh oleh manusia. Karena pada hakikatnya
hidayah, atau petunjuk merupakan milik Tuhan.
Dalam
tradisi keilmuan serta kepercayaan Islam misalnya, Allah memegang peranan
sentral bagi keislaman seseorang. Seseorang yang beragama dan memilih agama
Islam sebagai agamanya, merupakan bentuk hidayah Allah. Tidak ada satu faktor
pun yang dapat memaksakan hidayah. Seseorang tidak bisa memberi hidayah kepada
orang lain, meskipun dia adalah seorang nabi. Firman Allah yang artinya:
“Sesungguhnya
kamu (hai Muhammad) tidak akan dapat memberi hidayah (petunjuk) kepada orang
yang kamu cintai, tetapi Allah lah yang memberi petunjuk kepada siapa saja yang
dikehendakiNya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima
petunjuk.” (QS. al-Qoshosh: 56)
Dalam ayat yang lain Allah berfirman
yang artinya:
"Barang siapa yang diberi
petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang
disesatkan-Nya, maka kamu tak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk
kepadanya." (QS. al-Kahfi: 17)
2. Para ahli sosiologi berpendapat bahwa yang menyebabkan terjadinya konversi agama adalah pengaruh
sosial. Pengaruh sosial yang mendorong terjadinya konversi itu sendiri terdiri
dari adanya berbagai faktor yang mendukung antara lain :
a.
Pengaruh
hubungan antar pribadi baik pergaulan yang bersifat keagamaan maupun nonagama
(kesenian, ilmu pengetahuan ataupun bidang kebudayaan yang lain).
b.
Pengaruh
kebiasaan yang rutin. Maksudnya pengaruh ini dapat mendorong seseorang atau
kelompok untuk berubah kepercayaan jika dilakukan secara rutin hingga ia
menjadi terbiasa.
c.
Pengaruh
anjuran atau propoganda dari orang-orang yang dekat. Misalnya: keluarga,
famili, karib dan sebagainya.
d.
Pengaruh
yang berasal dari pemimpin keagamaan. Ini bisa disebabkan karena terjalinnya
hubungan yang baik dengan pemimpin agama. Ini pun bisa menjadi salah satu
faktor pendorong terjadinya konversi agama.
e.
Pengaruh
perkumpulan yang berdasarkan hobi. Perkumpulan yang dimaksud seseorang
berdasarkan hobinya dapat pula menjadi pendorong terjadinya konversi agama.
f.
Pengaruh
kekuasaan pemimpin. Yaitu pengaruh kekuasaan pemimpin berdasarkan kekuatan hukum.
Masyarakat umumnya cenderung menganut agama yang dianut oleh kepala negara atau
raja mereka (Culus Regio Illius est
Religio).
Dari sekian banyak pengaruh-pengeruh
tersebut, setidaknya dapat dibagi menjadi dua garis besar, yaitu pengaruh yang
mendorong secara persuasif berupa himbauan, ajakah, maupun anjuran. Dan
pengaruh yang bersifat koersif yang cenderung lebih memaksa, mengancam, bahkan
dengan kekerasan.
Meskipun pengaruh-pengaruh di atas
memang memegang peranan, tetapi semua akan kembali pada bawaan atau kondisi
kejiwaan orang tersebut. Faktanya, meskipun dipimpin oleh pemimpin keras dan
ototoriter, mendapat tekanan baik verbal hingga fisik, dan lain sebagainya,
tetapi jika orang tersebut telah mantap dalam keimanan dan memiliki jiwa yang
kuat, maka hal tersebut tidak akan memberi pengaruh bagi dirinya untuk
berpindah agama, justru pada kasus-kasus tertentu membuat dirinya semakin kuat
memegang teguh agamanya.
3.
Para ahli
psikologi berpendapat bahwa yang menjadi pendorong terjadinya konversi agama
adalah faktor psikologis yang ditimbulkan oleh faktor intern (gejala
batin)[12] maupun ekstern (lingkungan sosial)[13].
Dalam teori meaning system yang dikembangkan oleh Paloutzian berkaitan dengan
konversi agama seseorang, beliau menyatakan bahwa konversi agama dan spiritual
yang terjadi pada seseorang akibat perbedaan yang terjadi dalam kehidupan dan
ada keraguan di dalam diri seseorang baik mengenai nilai-nilai, atau ajaran
dalam agama yang dianutnya. Hal tersebut membuatnya membangun sistem makna
baru. Yang kemudian mengarahkan pada perubahan-perubahan dalam hal-hal yang
terhubung kepada sistem makna yang diragukannya itu. Dari sinilah proses perpindahan
agama itu terjadi.[14]
William James (dalam Ramayulis, 2002) yang berhasil meneliti pengalaman
berbagai tokoh yang mengalami konversi agama menyimpulkan sebagai berikut:
a.
Konversi terjadi karena
adanya suatu tenaga jiwa yang menguasai pusat kebiasaan seseorang sehingga pada
dirinya muncul persepsi baru, dalam bentuk suatu ide yang bersemi secara
mantap.
b.
Konversi agama dapat
terjadi oleh karena suatu krisis ataupun secara mendadak (tanpa suatu proses).
Kemudian James mengembangkan Faktor Penyebab konversi
itu menjadi beberapa tipe:
1.
Tipe Volitional
(perubahan bertahap), konversi agama ini terjadi secara berproses sedikit demi
sedikit sehingga kemudian menjadi seperangkat aspek dan kebiasaan rohaniah yang
baru. Konversi yang demikian itu terjadi sebagai suatu proses perjuangan batin
yang ingin menjauhkan diri dari dosa karena ingin mendatangkan suatu kebenaran.
2.
Tipe Self-Surrender
(perubahan drastis), konversi agama tipe ini adalah konversi yang terjadi
secara mendadak. Seseorang tanpa mengalami suatu proses tertentu tiba-tiba
berubah pendiriannya terhadap suatu agama yang dianutnya. Pada konversi agama
tipe kedua ini James (dalam, Ramayulis, 2002) mengakui adanya pengaruh petunjuk
dari Yang Maha Kuasa terhadap seseorang, karena gejala konversi ini terjadi
dengan sendirinya pada diri seseorang sehingga ia menerima kondisi yang baru
dengan penyerahan jiwa sepenuh-penuhnya.
Masalah-masalah yang menyangkut terjadinya konversi
agama tersebut berdasarkan tinjauan psikologi tersebut yaitu dikarenakan beberapa
faktor antara lain:
1.
Faktor Intern meliputi:
a.
Kepribadian. Secara
psikologis tipe kepribadian tertentu akan mempengaruhi kehiduan jiwa seseorang.
Dalam penelitiannya, James (dalam Ramayulis, 2002) menemukan bahwa tipe
melankolis (orang yang bertipe melankolis memiliki sifat mudah sedih, mudah
putus asa, salah satu pendukung seseorang melakukan konversi agama adalah jika
seseorang itu dalam keadaan putus asa) yang memiliki kerentanan perasaan lebih
mendalam dapat menyebabkan terjadinya konversi agama dalam dirinya.
b.
Faktor pembawaan.
Menurut Sawanson (dalam Ramayulis, 2002) ada semacam kecenderungan urutan
kelahiran mempengaruhi konversi agama. Anak sulung dan anak bungsu biasanya
tidak mengalami tekanan batin, sedangkan anak-anak yang dilahirkan pada urutan
antara keduanya sering mengalami stress jiwa, karena pada umumnya anak tengah
kurang mendapatkan perhatian orangtua. Kondisi yang dibawa berdasarkan urutan
kelahiran itu banyak mempengaruhi terjadinya konversi agama.
2.
Faktor Ekstern
meliputi:
a. Faktor keluarga. keretakan keluarga, ketidakserasian, berlainan agama,
kesepian, kesulitan seksual, kurang mendapatkan pengakuan kaum kerabat dan
alinnya. Kondisi yang demikian menyebabkan seseorang akan mengalami tekanan
batin sehingga sering terjadi konversi agama dalam usahanya untuk meredakan
tekanan batin yang menimpa dirinya.
b. Lingkungan tempat tinggal. Orang yang merasa terlempar dari lingkungan
tempat tinggal atau tersingkir dari kehidupan di suatu tempat merasa dirinya
hidup sebatang kara. Keadaan yang demikian menyebabkan seseorang mendambakan
ketenangan dan mencari tempat untuk bergantung hinggakegelisahan batinnya
hilang.
c. Perubahan status. Perubahan status terutama yang berlangsung secara
mendadak akan banyak mempengaruhi terjadinya konversi agama, misalnya:
perceraian, keluar dari sekolah atau perkumpulan, perubahan pekerjaan, menikah
dengan orang yang berbeda agama dan sebagainya.
d. Kemiskinan. Kondisi sosial ekonomi yang sulit juga merupakan faktor yang
mendorong dan mempengaruhi terjadinya konversi agama.
4. Para ahli ilmu
pendidikan berpendapat bahwa konversi agama dipengaruhi oleh kondisi
pendidikan. Penelitian ilmu sosial menampilkan data dan argumentasi bahwa
suasana pendidikan ikut mempengaruhi konversi agama. Walaupun belum dapat
dikumpulkan data secara pasti tentang pengaruh lembaga pendidikan terhadap
konversi agama namun berdirinya sekolah-sekolah yang bernaung di bawah yayasan
agama tentunya mempunyai tujuan keagamaan pula.
Menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat, faktor-faktor konversi agama meliputi:
1. Pertentangan batin
(konflik jiwa) dan ketegangan perasaan, orang-orang yang
gelisah, di dalam dirinya bertarung berbagai persoalan, yang kadang-kadang dia
merasa tidak berdaya menghadapi persoalan atau problema, itu mudah mengalami
konversi agama. Di samping itu sering pula terasa ketegangan batin, yang
memukul jiwa , merasa tidak tenteram, gelisah yang kadang-kadang terasa tidak
ada sebabnya dan kadang-kadang tidak diketahui. Dalam semua konversi agama,
boleh dikatakan, latar belakang yang terpokok adalah konflik jiwa (pertentangan
batin) dan ketegangan perasaan, yang mungkin disebabkan oleh berbagai keadaan
2. Pengaruh hubungan
dengan tradisi agama, diantara
faktor-faktor penting dalam riwayat konversi itu, adalah pengalaman-pengalaman
yang mempengaruhinya sehingga terjadi konversi tersebut. Diantara pengaruh yang
terpenting adalah pendidikan orang tua di waktu kecil mempunyai pengaruh yang
besar terhadap diri orang-orang, yang kemudian terjadi padanya konflik konversi
agama, adalah keadaan mengalami ketegangan yang konflik batin itu, sangat tidak
bisa, tidak mau, pengalaman di waktu kecil, dekat dengan orang tua dalam
suasana yang tenang dan aman damai akan teringat dan membayang-bayang secara
tidak sadar dalam dirinya. Keadaan inilah yang dlam peristiwa-peristiwa
tertentu menyebabkan konversi tiba-tiba terjadi. Faktor lain yang tidak sedikit
pengaruhnya adalah lembaga-lembaga keagamaan, masjid-masjid atau gerejagereja.
Melalui bimbingan lembaga-lembaga keagamaan itu, termasuk salah satu faktor
penting yang memudahkan terjadinya konversi agama jika pada umur dewasanya ia
kemudian menjadi acuh tak acuh pada agama dan mengalamkonflik jiwa atau
ketegangan batin yang tidak teratasi.
3. Ajakan/seruan dan
sugesti, banyak pula terbukti, bahwa diantara peristiwa konversi
agama terjadi karena pengaruh sugesti dan bujukan dari luar. Orang-orang yang
gelisah, yang sedang mengalami kegoncangan batin, akan sangat mudah menerima
sugesti atau bujukan-bujukan itu. Karena orang-orang yang sedang gelisah atau
goncangan jiwanya itu, ingin segera terlepas dari penderitaannya, baik
penderitaan itu disebabkan oleh keadaan ekonomi, sosial, rumah tangga, pribadi
atau moral.
4. Faktor-faktor emosi, orang-orang yang emosionil (lebih sensitif atau banyak dikuasai oleh
emosinya), mudah kena sugesti, apabila ia sedang mengalami kegelisahan.
Kendatipun faktor emosi, secara lahir tampaknya tidak terlalu banyak
pengaruhnya, namun dapat dibuktikan bahwa, emosi adalah salah satu faktor yang
ikut mendorong kepada terjadinya konversi agama, apabila ia sedang mengalami
kekecewaan.
5. Kemauan, kemauan yang dimaksudkan adalah kemauan seseorang itu sendiri untuk
memeluk kepercayaan yang lain Selain faktor-faktor diatas, Sudarno (2000)
menambahkan empat factor pendukung, yaitu:
6. Cinta, cinta merupakan anugrah yang harus dipelihara, tanpa cinta hidup tidak
akan menjadi indah dan bahagia, cinta juga merupakan salah satu fungsi sebagai
psikologi dan merupakan fitrah yang diberikan kepada manusia ataupun binatang
yang banyak mempengaruhi hidupnya, seseorang dapat melakukan konversi agama
karena dilandaskan perasaan cinta kepada pasangannya.
7. Pernikahan, adalah salah suatu perwujudan dari perasaan saling mencintai dan
menyayangi.
8. Hidayah, “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang
kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang dikendaki-
Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk” (QS.
Al-Qasas: 56) “Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya
petunjuk, niscaya dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan
barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan
dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki kelangit. Begitulah
Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman”. (QS. Al An’am:
125) Ayat-ayat Al-Qur’an diatas dapat diambil kesimpulan bahwa bagaimanapun
usaha orang untuk mempengaruhi seseorang untuk mengikuti keyakinannya, tanpa
ada kehendak dari Allah SWT tidak akan bisa. Manusia diperintah oleh Allah SWT
untuk berusaha, namun jangan sampai melawankehendak Allah SWT dengan segala
pemaksaan.
Kebenaran agama, menurut Djarnawi
agama yang benar adalah yang tepat memilih Tuhannya, tidak keliru pilih yang
bukan Tuhan dianggap Tuhan. Kebenaran agama yang dimaksud tidak karena paksaan,
bujukan dari orang lain, akan tetapi lewat kesadaran dan keinsyafan antara lain
melalui dialog-dialog, ceramah, mempelajari literatur, buku-buku dan media
lain.
Pengaruh-pengaruh tersebut secara garis besar dapat
dibagi menjadi dua, yaitu pengaruh yang mendorong secara persuasif
(ajakan/tidak memaksa) dan pengaruh yang bersifat koersif ( paksaan).
C. PROSES KONVERSI AGAMA
Konversi agama menyangkut perubahan batin seseorang
secara mendasar. Proses konversi agama ini dapat diumpamakan seperti proses
pemugaran sebuah gedung, bangunan lama dibongkar dan pada tempat yang sama
didirikan bangunan baru yang lain sama sekali dari bangunan sebelumnya. Dengan
demikian seseorang
tidak serta merta beralih agama. Terlebih untuk agama, yang masing-masingnya
memiliki perangkat aturan serta nilai yang apabila telah terintegrasi pada diri
seseorang akan mempengaruhi cara pandang, bertindak, tutur kata orang tersebut
berdasarkan agamanya. Oleh karenanya, proses terjadinya konversi tentu memakan
waktu.
Carrier (dalam Ramayulis, 2002) membagi proses tersebut dalam
tahapan-tahapan sebagai berikut:
1. Terjadi desintegrasi sintesis kognitif (kegoncangan jiwa) dan motivasi
sebagai akibat dari krisis yang dialami.
2. Reintegrasi (penyatuan kembali) kepribadian berdasarkan konsepsi agama
yang .Dengan adanya reintegrasi ini maka terciptalah kepribadian baru
yang berlawanan dengan struktur yang lama.
3. Tumbuh sikap menerima konsepsi (pendapat) agama yang baru serta peranan
yang di tuntut oleh ajarannya.
4. Timbul kesadaran bahwa keadaan yang baru itu merupakan panggilan suci
petunjuk Tuhan.
Demikian pula seseorang atau kelompok yang mengalami proses konversi agama ini,
segala bentuk kehidupan batinnya yang semula mempunyai pola tersendiri berdasarkan
pandangan hidup yang dianutnya(agama), maka setelah terjadi konversi agama pada
dirinya secaca spontan pula sama ditinggalkan sama sekali. Segala bentu
kepercayann batin terhadap kepercayaan lama seperti: harapan, rasa bahagia,
keselamatan, kemantapan berubah menjadi berlawanan arah. Timbullah
gejala-gejala baru berupa: perasaan serba tidak lengkap dan tidak sempurna.
Gejala ini menimbulkan proses kejiwaan dalam bentuk: merenung , timbulnya
tekanan batin, penyesalan diri, rasa berdosa, cemas terhadap masa depan,
perasaan susah yang ditimbulkan oleh kebimbangan.
Perasaan yang berlawanan itu menimbulkan pertentangan dalam batin sehingga
untuk mengatasi kesulitan tersebut harus dicari jalan penyalurannya. Umumnya
apabila gejala tersebut sudah dialami seseorang atau kelompok maka dirinya
menjadi lemah dan pasrah ataupun timbul semacam peledakan perasaan untuk
menghindarkan diri dari pertentangan batin itu. Ketenangan batin akan terjadi
dengan sendirinya bila yang bersangkutan telah mampu memilih pandangan hidup
yang baru. Pandangan hidup yang dipilih tersebut meerupakan pertaruhan terhadap
masa depannya sehingga ia merupakan pegangan baru dalam kehidupan selanjutnya.
Sebagai hasil dari pemilihan terhadap pandangan hidup itu
maka bersedia dan mampu untuk membaktikan diri kepada tuntutan-tuntutan
dari peraturan ada dalam pendangan hidup yang dipilihnya itu berupa ikut
berpartisipasi secara penuh. Makin kuat keyakinannya terhadap kebenaran
pandangan hidup itu akan semakin tinggi pula nilai bakti yang diberikannya.
Sebenarnya sukar untuk menentukan satu garis, atau satu
rentetan proses yang akhirnya membawa kepada keadaan keyakinan yang berlawanan
dengan keyakinannya yang lama. Proses ini berbeda antara satu orang dengan
lainnya, karena disebabkan beberapa faktor, antara lain:
1. Perbedaan perkembangan psikis
seseorang
2. Pengalaman dan pendidikan agama
yang diterimanya sejak kecil
3. Lingkungan dimana ia hidup atau
suasana yang mempengaruhi ia hidup
4. Pengalaman terakhir yang
menjadi puncak konversi itu sendiri
5. Selanjutnaya apa yang terjadi
pada hidupnya sesudah terjadinya konversi tersebut.
M.T.L Penido berpendapat,[15]
bahwa konversi agama mengandung 2 unsur yaitu:
a. Unsur dari
dalam diri (endogenos origin)
Yaitu proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang
atau kelompok yang membentuk suatu kesadaran untuk mengadakan suatu
transformasi yang disebabkan oleh krisis yang telah terjadi untuk mengambil
keputusan berdasarkan pertimbangan pribadi.
b. Unsur dari
luar diri (exogenos origin)
Yaitu proses perubahan yang terjadi dari luar diri atau
kelompok, dan hal itu kemudian menekan pengaruhnya terhadap kesadaran seseorang
untuk menyelesaikannya.
Kedua unsur
tersebut kemudian mempengaruhi kehidupan batin untuk aktif berperan memilih
penyelesaian yang mampu memberikan ketenangan batin kepada yang bersangkutan.
Jadi, disini terlihat adanya pengaruh motivasi dari unsur tersebut terhadap
batin. Jika pemilihan tersebut sudah serasi dengan kehendak batin, terciptalah
suatu ketenangan.[16]
Seiring dengan timbulnya ketenangan batin tersebut
terjadilah semacam perubahan total dalam struktur psikologis sehingga struktur
lama terhapus dan digantikan dengan struktur yang baru sebagai hasil pilihan
yang dianggap benar.
Prof.Dr. Zakiah. Daradjat memberikan pendapatnya yang berdasarkan proses
kejiwaan yang terjadi melalui 5 tahap, yaitu:
- Masa tenang, disaat ini
kondisi seseorang berada dalam keadaan yang tenang karena masalah agama
belum mempengaruhi sikapnya. Terjadi semacam sikap apriori (belum mengetahui)
terhadap agama. Keadaan yang demikian dengan sendirinya tidak akan
mengganggu keseimbangan batinnya, hingga ia berada dalam keadaan tenang
dan tentram. Segala sikap dan tingkah laku dan sifat-sifatnya acuh tak
acuh atau menentang agama.
- Masa ketidaktenangan, tahap ini berlangsung jika masalah agama telah mempengaruhi
batinnya. Mungkin di karenakan suatu krisis, musibah ataupun perasaan
berdosa yang di alami.Hal tersebut menimbulkan semacam kegoncangan dalam
kehidupan batin sehingga menyebabkan kegoncangan yang berkecamuk dalam
bentuk rasa gelisah, panik, putus asa, ragu, tegang dan bimbang. Perasaan
tersebut menyebabkan seseorang lebih sensitif dan hampirhampir putus asa
dalam hidupnya dan mudah terkena sugesti. Pada tahap ini terjadi proses pemilihan
terhadap ide atau kepercayaan baru untuk mengatasi konflik batinnya.
- Masa
konversi, tahap ketiga ini
terjadi setelah konflik batin mengalami keredaan karena kemantapan batin
telah terpenuhi berupa kemampuan menentukan keputusan untuk memilih yang
dianggap serasi ataupun timbulnya rasa pasrah. Keputusan ini memberikan
makna dalam menyelesaikan pertentangan batin yang terjadi, hidup yang
tadinya seperti dilamun ombak atau di porak porandakan oleh badai topan
persoalan, tiba-tiba angin baru berhembus, sehingga terciptalah ketenangan
dalam bentuk kesediaan menerima kondisi yang dialami sebagai petunjuk
ilahi. Karena disaat ketenangan batin itu terjadi dilandaskan atas suatu
perubahan sikap kepercayaan yang bertentangan dengan sikap kepercayaan
sebelumnya, maka terjadilah proses konversi agama.
- Masa
tenang dan tentram, masa tenang dan
tentram yang kedua ini berbeda dengan tahap yang sebelumnya. Jika pada
tahap pertama keadaan itu dialami karena sikap yang acuh tak acuh, maka
ketenangan dan ketentraman pada tahap ketiga ini di timbulkan oleh
kepuasan terhadap keputusan yang sudah di ambil. Ia timbul karena telah
mampu membawa suasana batin menjadi mantap sebagai pernyataan menerima
konsep baru. Setelah krisis konversi lewat dan masa menyerah di lalui,
maka timbullah perasaan atau kondisi jiwa yang baru, rasa aman dan damai
di hati, tiada lagi dosa yang tidak diampuni Tuhan Yang Maha Esa, tidak
ada kesalahan yang patut di sesali, semuanya telah lewat, segala persoalan
menjadi mudah dan terselesaikan. lapang Dada, menjadi pemaaf dan dengan
mudah untuk memaafkan kesalahan orang lain.
- Masa
ekspresi konversi, sebagai ungkapan
dari sikap menerima, terhadap konsep baru dari ajaran agama yang
diyakininya, maka tindak tanduk dan sikap hidupnya diselaraskan dengan
ajaran dan peraturan agama yang dipilih tersebut. Pencerminan ajaran dalam
bentuk amal perbuatan yang serasi dan relevan sekaligus merupakan
pernyataan konversi agama itu dalam kehidupan.
Menurut Wasyim secara garis besar membagi proses konversi agama menjadi tiga,
yaitu:
1. Masa Gelisah (unsert), kegelisahan atau ketidaktenangan karena adanya gap antara seseorang yang
beragama dengan Tuhan yang di sembah. Ditandai dengan adanya konflik dan
perjuangan mental aktif.
2. Adanya rasa pasrah
3. Pertumbuhan secara
perkembangan yang logis, yakni tampak adanya
realisasi dan ekspresi konversi yang dialami dalam hidupnya.
realisasi dan ekspresi konversi yang dialami dalam hidupnya.
Diawal-awal terjadinya perubahan itu, setiap diri
merasakan kegelisahan batin sulit untuk menentukan secara spontan mana yang
harus diikuti. Kesulitan seperti itu adalah wajar, karena agama sebagai
keyakinan menyangkut sisi-sisi kehidupan batin seseorang yang berkaitan dengan
nilai.
Bagi manusia nilai adalah suatu yang dianggap benar dan
menyangkut pandangan hidup. Oleh karena itu, selain peka, nilai juga merupakan
sesuatu yang perlu dipertahankan oleh seseorang. Bahkan, pada tingkat yang
paling tinggi pemeluk keyakinan itu akan rela mempertaruhkan nyawa, demi
mempertahankan nilai itu.
D. JENIS-JENIS KONVERSI AGAMA
Secara umum, jenis
konversi agama dapat dikelompokkan menjadi dua: pertama, konversi internal,
yakni perpindahan agama yang dilakukan seseorang dari satu pemikiran kepada
pemikiran yang lain, satu mazhab kepada mazhab yang lain tetapi masih tetap
berada dalam agama yang sama.
Kedua, konversi eksternal.
Yaitu pindahnya seseorang dari satu agama kepada agama yang lain yang berbeda.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
v Konversi
Agama (religious
conversion) secara umum dapat diartikan
dengan perubahan keyakinan(agama) yang berbeda.
v Ada
dua faktor yang mempunyai pengaruh dalam konversi agama:
1.
Faktor intern antara lain; kepribadian dan pembawaan.
2.
Faktor ekstern antara lain; keluarga, lingkungan, perubahan status, dan kemiskinan.
v Proses konversi agama mengandung 2 unsur yaitu:
a. Unsur dari
dalam diri (endogenos origin)
Yaitu proses perubahan yang terjadi dalam
diri seseorang atau kelompok yang membentuk suatu kesadaran untuk mengadakan
suatu transformasi agama.
b. Unsur dari
luar diri (exogenos origin)
Yaitu proses perubahan yang terjadi dari luar
diri atau kelompok, dan hal itu kemudian menekan pengaruhnya terhadap kesadaran
seseorang untuk menyelesaikannya.
B. SARAN
Pemakalah menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan, banyak hal-hal yang masih kurang dalam makalah ini.
Maka dari pada itu pemakalah mengaharapkan kritikan dan saran dari para pembaca
dan terutama sekali kepada dosen pembimbing, guna untuk perubahan dan perbaikan
bagi pemakalah dikemudian harinya.
DAFTAR PUSTAKA
Atang ABD. Hakim, dan Jaih Mubarok, “Metodologi Studi Islam”,
(Bandung:PT Remaja Rosdakarya), tt.
Ahmad, Maghfur.
“Agama dan Psikoanalisa Sigmund Freud”.
Jurnal Religia. vol.14. No.2. Oktober 2011.
Bambang Syamsul Arifin, “Psikologi Agama”,
(Bandung:Pustaka Setia, 2008)
Daradjat, Zakiah “Ilmu Jiwa Agama”, (Jakarta: Bulan Bintang,
1996)
______________, , “Ilmu Jiwa Agama”, (Jakarta: Bulan Bintang), 2005
Jalaluddin,
“Psikologi Agama; Memahami Perilaku dengan Mengaplikasikan Pinsip-prinsip
Psikologi”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), Cetakan ke-16
________, “Psikologi Agama”, (Jakarta:
Rajawali Pers. 1996)
Mulyana, Deddy.
“Santri-santri Bule: Kesaksian Muslim
Amerika, Eropa, dan Australia”. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya), Cet. III,
2004.
Nelson, James
M. “Psychology, Religion, and Spirituality”. (USA: Departmentof
Psychology. 2009).
Paloutzian,
Raymond F and Crystal L. Park (eds.) “Handbook of The Psychology of Religion
and Spirituality”. (New York, London: The Guilford Press: 2005). Cet. IX.
Tawfiq, Idris.
Artikel. Terjemah. “Berhenti Memanggil
Saya ‘a Revert“. 2013,
Website
:
[1]
Raymond F. Paloutzian, “Religious Conversion and Spiritual Transformation A
Meaning-System Analysis”, dalam Raymond F. Paloutzian and Crystal L. Park
(eds.), “Handbook of The Psychology of Religion and Spirituality”, (Cet. IX;
New York, London: The Guilford Press: 2005), h. 331.
[2]
Atang ABD. Hakim, dan Jaih Mubarok, “Metodologi Studi Islam”,
(Bandung:PT Remaja Rosdakarya), hal.3
[3]
Jalaluddin, “Psikologi Agama; Memahami Perilaku dengan Mengaplikasikan
Pinsip-prinsip Psikologi”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012),
Cetakan ke-16, hal.379
[4]
Zakiyah Daradjat, “Ilmu Jiwa Agama”, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1996), hal. 137.
[5]
Jalaluddin, “Psikologi Agama”, (Jakarta: Rajawali Pers.
1996), hal.245
[6]
Lihat, Ramayulis, “Psikologi Agama”, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011),
cet. 9, hal. 79-80
[7]
Ibid.
[8]
Deddy Mulyana, “Santri-santri Bule:
Kesaksian Muslim Amerika, Eropa, dan Australia”. (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2004), Cet. III, hal.25
[9]
Tawfiq, Idris. Artikel. Terjemah. “Berhenti
Memanggil Saya ‘a Revert“. 2013, http://www.antiliberal.net/2013/10/berhenti-memanggil-saya-revert.html/
[10]
Zakiah
Daradjat, “Ilmu Jiwa Agama”, (Penerbit Bulan Bintang 1970), hal.1
[11]
Lihat, Ramayulis,Op.Cit.
[12]
Sebagi
contoh adalah adanya tekanan batin, jiwa yang kosong dan ada suatu ketidak berdayaan seseorang, maka akan mendorong
seseorang untuk mencari jalan keluar, atau kemudian mencari perlindungan pada
kekuatan lain yang mampu memberikan kehidupan jiwa yang tenang (ketenangan batin) dan tentram.
[13]
Tempat tinggal, perubahan status seperti pekerjaan,jabatan,perkawinan,
kemiskinan, dan lain-lain.
[14]
James M. Nelson,. “Psychology, Religion, and Spirituality”. (USA:
Departmentof Psychology. 2009), hal.136
[15]
Lihat dalam; Jalaluddin, “Psikologi Agama; Memahami Perilaku dengan
Mengaplikasikan Pinsip-prinsip Psikologi”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2012), Cetakan ke-16, hal.386-387